![]() Batara Kala dalam pertunjukan wayang Jawa. | |
Tokoh mitologi Jawa dan Bali | |
Nama | Batara Kala |
Ejaan Jawa | ꦨꦡꦫꦏꦭ |
Ejaan Bali | ᬪᬞᬵᬭᬓᬵᬮ |
Kitab referensi | Lontar Kala Tattwa |
Ayah | Siwa atau Batara Guru |
Ibu | Parwati atau Giriputri |
Saudara | Kumara |
Batara Kala (aksara Jawa: ꦨꦡꦫꦏꦭ; aksara Bali: ᬪᬞᬵᬭᬓᬵᬮ) adalah sosok personifikasi waktu dalam kepercayaan Hindu Nusantara, terutama Hindu Jawa dan Bali. Sebagai tokoh, ia ditampilkan dalam pertunjukan wayang, dengan latar belakang sebagai putra Dewa Siwa (Batara Guru),[1] yang bergelar dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu). Kala sering disimbolkan sebagai raksasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum alam.
Kisah
Menurut lontar Tattwa
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan bahwa ketika Batara Guru (Dewa Siwa) sedang berjalan-jalan dengan Batari Giriputri (Dewi Parwati) di atas laut, Batara Guru mengajak sang batari untuk bercinta, tetapi tertolak karena prilaku sang dewa dianggap tidak pantas. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Tanpa disadari siapa pun, air mani ("benih kehidupan") Batara Guru telah menetes ke laut, kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. "Benih" tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari "benih" tersebut, lahirlah seorang raksasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Brahma dan Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Batara Guru dan Batari Giriputri adalah orangtuanya.
Sebelum Batara Guru atau Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Syarat itu pun dipenuhi. Kemudian sang raksasa diberkati oleh Batara Guru dan diberi gelar Batara Kala. Untuk menghormati hari kelahirannya, Batara Guru memberi anugerah bahwa Batara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari "Tumpek Wayang" dan orang yang berjalan saat tengah hari Tumpek Wayang. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari Tumpek Wayang. Sesuai anugerah, Batara Kala boleh memakan adiknya. Namun atas permohonan ayahnya, Batara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Batara Guru untuk menganugerahi Kumara agar berwujud anak-anak selamanya. Akal-akalan itu diketahui Batara Kala. Setelah tahu bahwa Batara Kala akan memangsanya, Kumara pun menyelamatkan diri. Saat mengejar Kumara, Batara Kala bertemu kedua orangtuanya. Mereka pun ingin dimakan oleh Batara kala sesuai anugerah yang ia terima. Namun Batara Guru memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan sebagai syarat untuk memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Batara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan kedua orang tuanya. Karena tidak bisa memakan mereka, Batara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan seorang dalang yang sedang main wayang. Sesajen itu dilahapnya habis karena haus dan lapar. Akhirnya sang dalang meminta Batara Kala untuk memuntahkan kembali segala sesajen yang dimakan. Batara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen dan menggelar wayang sapu leger.
Menurut pewayangan Jawa
Menurut pewayangan Jawa, dikisahkan bahwa pada suatu hari, Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma (Parwati alias Giriputri) terbang menjelajah dunia dengan mengendarai wahana Lembu Andini. Dalam perjalanan, Batara Guru bersenggama dengan istrinya, sehingga sang dewi hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan, Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya. Seketika itu, Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma; dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan Buto (bangsa raksasa). Karena semua perkataannya mandi (bahasa indonesia: cepat menjadi kenyataan), maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung tiba-tiba menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gandamayit. Akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga.[1]
Setelah melahirkan, anaknya ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama "Kala". Namun pada perkembangan selanjutnya, Kala justru menjadi suami Batari Durga, sebab di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Batara Dewasrani. Dewasrani mengalami cacat genetik akibat hubungan sedarah. Seharusnya Dewasrani memiliki fisik raksasa seperti kedua orangtuanya, tetapi fisiknya terlahir tampan dan sempurna layaknya seorang dewa.
Kala dan Batari Durga selalu membuat onar di Madyapada (Bumi) karena ingin membalas dendam kepada para dewa, yang dipimpin Batara Guru. Batara Dewasrani selaku anak dari mereka juga mewarisi sifat kedua orang tuanya yang suka berbuat keonaran dan kekacauan. Karena Batara Guru khawatir akan kekacauan kahyangan, maka ia mengakui bahwa Kala adalah anaknya. Ia pun diberi gelar "Batara".
Batara Kala memiliki nafsu makan yang besar dan menggemari daging manusia. Mengetahui hal tersebut, Batara Guru pun menentukan jenis manusia yang boleh ia makan, yaitu: ontang-anting (orang yang mempunyai anak satu); pandawa lima (anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua); kedono kedini (anak dua laki-laki perempuan).[2][3] Untuk menghindarkan seseorang dari sasaran Batara Kala, maka diadakanlah upacara ruwatan. Lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan, Batara Kala selalu berusaha memakan kelima Pandawa. Namun, karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu, yaitu Kresna maka Batara Kala selalu tidak berhasil memangsa mereka.
Lihat pula
Referensi
- ^ a b Monbaron, Simon (1999). Subud the Coming New Age of Reality: The Most Complete Book on Subud. Peace. hlm. 573. ISBN 978-0-9672753-1-4.
- ^ Weintraub, Andrew Noah (2004). Power plays: wayang golek puppet theater of West Java. Ohio University Press. hlm. 39. ISBN 978-981-230-249-6.
- ^ "Gerhana Disambut Ritual Usir Batara Kala". okezone.com. 16 Juni 2011.
- Sukartha, I Ketut. 2003. Agama Hindu. Penerbit: Ganeca Exact
- Gambar, I Made. Darmopadesa (pokok-pokok ajaran Hindu).
Konten ini disalin dari wikipedia, mohon digunakan dengan bijak.