Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang diawetkan dengan menambahkan banyak garam. Dengan metode pengawetan ini daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup rapat. Selain itu, daging ikan yang diasinkan akan bertahan lebih lama dan terhindar dari kerusakan fisik akibat infestasi serangga, larva lalat, dan beberapa jasad renik perusak lainnya.
Pengeringan atau pengasinan, baik dengan garam kering maupun air garam, adalah satu-satunya metode pengawetan ikan yang tersedia secara luas sampai abad ke-19. Ikan kering dan ikan asin (atau ikan kering dan asin) adalah makanan pokok di Karibia, Afrika Barat, Afrika Utara, Asia Selatan, Asia Tenggara, Tiongkok Selatan, Skandinavia, sebagian Kanada termasuk Newfoundland, pesisir Rusia, dan Kutub Utara. Seperti daging asin lainnya, ia menyediakan protein hewani yang diawetkan bahkan tanpa pendinginan.
Proses pembuatan
Pengasinan adalah pengawetan makanan dengan garam kering yang dapat dimakan.[1] Metode ini terkait dengan pengasaman (menyiapkan makanan dengan air garam, atau air asin), dan merupakan salah satu metode tertua untuk mengawetkan makanan.[1] Garam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan menarik air keluar dari sel mikroba melalui osmosis. Konsentrasi garam hingga 20% diperlukan untuk membunuh sebagian besar spesies bakteri yang tidak diinginkan. Pengasapan, yang sering digunakan dalam proses pengawetan daging, menambahkan bahan kimia ke permukaan daging yang mengurangi konsentrasi garam yang dibutuhkan. Penggaraman digunakan karena sebagian besar bakteri, jamur, dan organisme patogen potensial lainnya tidak dapat bertahan hidup di lingkungan yang sangat asin, karena sifat garam yang hipertonik. Setiap sel hidup dalam lingkungan seperti itu akan mengalami dehidrasi melalui osmosis dan mati atau menjadi tidak aktif untuk sementara.
Aktivitas air pada ikan didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan uap air dalam daging ikan dengan tekanan uap air murni pada suhu dan tekanan yang sama. Angka ini berkisar antara 0 dan 1, dan merupakan parameter yang mengukur seberapa tersedia air dalam daging ikan. Air yang tersedia diperlukan untuk reaksi mikroba dan enzimatik yang terlibat dalam pembusukan. Ada beberapa teknik yang telah atau digunakan untuk mengikat air yang tersedia atau menghilangkannya dengan mengurangi aktivitas air. Secara tradisional, teknik seperti pengeringan, penggaraman dan pengasapan telah digunakan, dan telah digunakan selama ribuan tahun. Di zaman modern, pengeringan beku, humektan pengikat air, dan peralatan otomatis penuh dengan kontrol suhu dan kelembaban telah banyak diterapkan. Seringkali kombinasi dari teknik ini digunakan.[2]
Faktor-faktor yang berpengaruh
Kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa hal. Di antaranya:
Konsentrasi garam
- Semakin tinggi konsentrasi garam yang digunakan, semakin cepat proses masuknya garam ke dalam daging ikan. Akan lebih baik apabila digunakan garam kristal untuk mengasinkan.
Jenis garam
- Garam dapur murni (NaCl 95%) lebih mudah diserap dan menghasilkan ikan asin dengan kualitas yang lebih baik. Garam rakyat mengandung unsur-unsur lain (Mg, Ca, senyawa sulfat), kotoran, bakteri dan lain-lain yang dapat menghambat penetrasi garam dan merusak rasa ikan.
Ketebalan daging ikan
- Semakin tebal daging ikan, proses pengasinan akan membutuhkan waktu yang semakin lama dan garam yang lebih banyak. Sehingga ikan-ikan besar biasanya dibelah-belah, dikeping atau diiris tipis sebelum diasinkan.
Kadar lemak dalam daging
- Kadar lemak yang tinggi (di atas 2%) akan memperlambat penetrasi garam ke dalam daging ikan.
Kesegaran daging ikan
- Ikan yang kurang segar memiliki daging yang lebih lunak dan cairan tubuh yang mudah keluar, sehingga proses pengasinan bisa lebih cepat. Namun juga garam yang masuk dapat terlalu banyak sehingga ikan menjadi terlalu asin dan kaku.
Suhu daging ikan
- Semakin tinggi suhu daging ikan, semakin cepat garam masuk ke dalam tubuh ikan.
Ikan asin dan bahan pengawet berbahaya
Pengolahan ikan asin secara tradisional hampir selalu membutuhkan bantuan sinar matahari untuk mempercepat pengeringan, dan mencegah agar ikan tidak menjadi busuk.
Masalahnya matahari tidak selalu bersinar dengan cukup setiap harinya, terutama di musim hujan di mana awan mendung sering kali menutupi langit. Akibatnya, banyak ikan yang tidak terawetkan dengan baik, menurun kualitasnya, dan bahkan menjadi busuk.
Untuk mengurangi kerugian, sementara pengolah mengambil jalan pintas menggunakan bahan-bahan kimia seperti pestisida dan formalin. Bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan ini digunakan sebagai pengawet tambahan untuk mencegah pembusukan. Formalin juga mencegah pengurangan bobot ikan yang berlebihan akibat menguapnya cairan tubuh ikan yang diasinkan.[3]
Alternatif bahan pengawet tambahan yang aman adalah kitosan. Akan tetapi bahan yang diekstrak dari cangkang udang dan kepiting ini belum populer dan belum diproduksi secara massal di Indonesia.
Lihat pula
Referensi
- ^ a b "Historical Origins of Food Preservation." University of Georgia, National Center for Home Food Preservation. Accessed Mat 2012.
- ^ FAO: Preservation techniques Fisheries and aquaculture department, Rome. Updated 27 May 2005.
- ^ Arifin, Muhajir. "Polisi Temukan 2,5 Ton Ikan Asin Berformalin di Pasuruan, 2 Orang Diamankan". detikcom. Diakses tanggal 2021-10-11.
Pustaka
Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan pengolahan ikan. Penerbit Kanisius, Jogyakarta. ISBN 979-413-032-X
Pranala luar
- Media tentang Salted fish di Wikimedia Commons
Konten ini disalin dari wikipedia, mohon digunakan dengan bijak.