Sri Samarawijaya | |
---|---|
Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa | |
Raja Panjalu | |
Berkuasa | 1042 – 1051 |
Pendahulu | Airlangga |
Penerus | Sri Jitendrakara |
Kelahiran | Jawa Timur |
Wangsa | Isyana |
Ayah | Airlangga[diragukan ] |
Agama | Hindu |
Sri Samarawijaya adalah raja kerajaan Panjalu sesudah peristiwa pembagian kerajaan oleh prabu Airlangga kepada kedua puteranya. yakni Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Sri Samarawijaya memerintah Panjalu sejak tahun 1042.[diragukan ] Dengan gelar ialah Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa.
Kedudukan Samarawijaya pada masa Airlangga
Pada masa pemerintahan Airlangga dan raja-raja sebelumnya, jabatan tertinggi sesudah maharaja adalah rakryan mahamantri i Hino. Jabatan ini identik dengan gelar putra mahkota, sehingga pada umumnya dijabat oleh putra atau menantu dari raja.
Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan Airlangga sejak 1021 sampai 1035, yang menjabat sebagai rakryan mahamantri i Hino adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Sedangkan pada prasasti Pucangan (1041) muncul nama baru, yaitu Samarawijaya sebagai rakryan mahamantri i Hino begitu pula di dalam prasasti Pandan (1042) yang juga menyebutkan; rakryan mahamantri i hino śrī samarawijaya dhāmasuparṇawāhana teguh uttuṅgadewa.
Sanggramawijaya Tunggadewi identik dengan putri sulung Airlangga, dalam cerita di Serat Calon Arang dari masa Majapahit yang memilih mengundurkan diri dari takhta dan menjadi pertapa bernama Dewi Kili Suci. Dalam kisah tersebut, Dewi Kili Suci diberitakan memiliki dua orang adik laki-laki.[1]
Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi, selanjutnya dalam prasasti Pasar Legi (1043) namanya kembali muncul sebagai rakryan mahamantri i Hino dan mendampingi Maharaja Airlangga.
Sebuah prasasti dikeluarkan atas titah raja bernama Airlangga dan memuat angka tahun 968 Saka/(1046 Masehi) memberikan petunjuk lainnya yaitu prasasti Simanglayang (1046), menyebutkan nama Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa yang dalam prasasti tersebut kembali menduduki jabatan sebagai rakryan mahamantri i Hino.[2]
Dalam sejarah umum diketahui Sri Maharaja Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya menjadi Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Janggala pada tahun 1042 M. Anggapan selama ini Sri Samarawijaya merupakan raja pertama dari Kerajaan Panjalu yang beribukota di Daha sampai saat ini masih bersifat dugaan belaka.
Perang Saudara melawan Janggala
Sebelum turun takhta tahun 1042, Airlangga dihadapkan pada masalah persaingan takhta antara kedua putranya. Maka iapun membagi wilayah kerajaannya menjadi dua, yaitu Panjalu (Kadiri) dan Janggala. Peristiwa ini diberitakan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon Arang, serta diperkuat oleh prasasti Turun Hyang (1044) dan prasasti Wurare.
Dalam prasasti Turun Hyang, diketahui nama raja Janggala setelah pembagian ialah Mapanji Garasakan. Nama raja Kadiri tidak disebutkan dengan jelas, namun dapat diperkirakan dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah menjabat sebagai putra mahkota.
Prasasti Turun Hyang tersebut merupakan piagam pengesahan anugerah dari Mapanji Garasakan tahun 1044 terhadap penduduk desa Turun Hyang yang setia membantu Janggala saat melawan Panjalu. Jadi, pembelahan kerajaan yang dilakukan oleh Airlangga terkesan sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya dan Mapanji Garasakan tetap saja berebut kekuasaan.
Adanya unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh.[diragukan ] Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga.
Akhir Pemerintahan Samarawijaya
Pemerintahan Sri Samarawijaya di Kadiri dikenal sebagai masa kegelapan karena ia tidak meninggalkan bukti prasasti. Ia naik takhta dipastikan tahun 1042, karena pada tahun itu Airlangga turun takhta menjadi pendeta (berdasarkan berita dari prasasti Pamwatan dan prasasti Gandhakuti).
Akhir pemerintahan Sri Samarawijaya tidak diketahui dengan pasti. Prasasti yang menyebutkan nama raja Kadiri selanjutnya adalah prasasti Mataji sebuah prasasti batu yang ditemukan di Desa Bangle, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur. Prasasti ini berangka tahun 973 Saka atau 1051 M, dikeluarkan oleh Raja Sri Jitendrakara yang bergelar abhiseka lengkap Sri Maharaja Jitendra Kara Paladewa Wuryyawiryya Parakrama Bhakta.
Lihat juga
- Dharmawangsa Teguh, dugaan sebagai ayah dari Sri Samarawijaya
- Sri Jayawarsa, diduga merupakan keturunan dari Sri Samarawijaya
- Wangsa Isyana, dinasti keluarga raja di Kerajaan Medang
Kepustakaan
- Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Referensi
Konten ini disalin dari wikipedia, mohon digunakan dengan bijak.