
Dwifungsi ABRI adalah konsep peran ganda militer di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Tentara Nasional Indonesia (dahulu ABRI) untuk berperan tidak hanya dalam pertahanan dan keamanan, tetapi juga dalam bidang sosial-politik. Konsep ini telah menjadi bagian penting dari sejarah militer Indonesia, mengalami pasang surut, dan menjadi topik kontroversial dalam berbagai periode pemerintahan.
Latar belakang
Akar dari Dwi Fungsi ABRI dapat ditelusuri ke masa awal kemerdekaan Indonesia. Ketidakpercayaan militer terhadap kepemimpinan sipil telah muncul sejak sebelum proklamasi 1945. Dalam artikel Tempo berjudul "Yang Meluncur Tanpa Saingan" (1982), Mayor Jenderal Tahi Bonar Simatupang menyatakan bahwa fungsi ABRI tumbuh dari sejarah Republik, bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. [1]
Akar-akar konsep ini sudah tertanam jauh sebelum kemerdekaan 1945. Pada masa perjuangan, para pemimpin pergerakan nasional seperti Soekarno dan Hatta tidak pernah merencanakan kemerdekaan Indonesia dicapai melalui perjuangan bersenjata. Menurut Bung Karno, kemerdekaan harus diraih lewat aksi massa yang radikal, bukan dengan bom dan dinamit.[1]
Namun, cara berpikir ini bertentangan dengan pandangan para pemuda yang muncul menjelang dan sesudah proklamasi. Para pemuda ini lebih memilih mempertahankan kemerdekaan dengan mengangkat senjata, sedangkan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir lebih mengutamakan jalan diplomasi dan perundingan. Perbedaan pandangan ini menumbuhkan ketegangan antara kelompok sipil dan militer yang berlanjut bahkan setelah Indonesia merdeka.[1]
Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat
Ketegangan itu semakin kentara setelah kemerdekaan. Pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta menilai belum perlu membentuk tentara nasional karena meragukan urgensinya. Maka, pada 22 Agustus 1945 dibentuklah Badan Penolong Keluarga Korban Perang yang mencakup Badan Keamanan Rakyat (BKR) di bawah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). [1]
KR ditugaskan untuk menjaga keamanan bersama rakyat dan badan negara lainnya. Namun, ketidakjelasan struktur komando militer menyebabkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mengadakan pertemuan di Yogyakarta pada 12 November 1945 untuk memilih Panglima dan Menteri Pertahanan. Dalam pertemuan itu, melalui voting, Sudirman terpilih sebagai Panglima Besar dan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Namun hanya dua hari kemudian, Perdana Menteri Sjahrir mengangkat Amir Sjarifuddin sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet barunya. Langkah ini memperburuk hubungan antara pemerintah sipil dan militer.[1]
Kekecewaan militer terhadap pemerintah sipil memuncak pada 19 Desember 1948 ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua dan menyerbu Yogyakarta. Meskipun sebelumnya Soekarno menyatakan akan bergerilya jika Belanda menyerang, ia bersama sejumlah pemimpin lain seperti Hatta, Sjahrir, dan Suryadarma justru memilih mengibarkan bendera putih dan menyerah.[1]
Dalam memoarnya, Bung Hatta menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak meninggalkan kota diambil melalui pemungutan suara di antara anggota kabinet yang hadir. Salah satu alasannya adalah tidak adanya satu batalion pun yang siap mengawal mereka ke luar kota. Bagi para pemimpin sipil, penyerahan diri bukanlah hal memalukan, tetapi bagi militer, tindakan itu dianggap sebagai noda dalam perjuangan. Bahkan, Abdul Haris Nasution, tokoh penting Angkatan Darat, menyebut kejadian tersebut sebagai "puncak kehinaan." Peristiwa ini memperuncing jurang ketidakpercayaan antara militer dan pemerintahan sipil, terutama dalam kondisi politik yang terus bergolak pasca agresi militer Belanda kedua.[1]
Krisis Politik dan Usaha Kudeta Militer

Pada awal 1950-an, kondisi politik Indonesia tak kunjung stabil. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta berkali-kali harus menyusun ulang kabinet di tengah situasi di mana sejumlah pejabat pemerintahan terlibat dalam praktik korupsi. Hal ini memicu kemarahan publik yang kemudian menuntut percepatan pemilihan umum guna mengganti anggota parlemen.[1]
Di tengah ketidakstabilan ini, banyak anggota militer mulai menempati posisi politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal Tahi Bonar Simatupang pun mengeluarkan kebijakan rasionalisasi yang bertujuan mengurangi jumlah tentara.[1]
Namun, kebijakan tersebut ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno, orang dekat Soekarno di Angkatan Darat. Ia bahkan mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno dan Menteri Pertahanan untuk meminta agar Nasution diganti. Menyusul itu, Mane Sofian, anggota parlemen dari Partai Nasional Indonesia, mengajukan mosi agar pemerintah membentuk panitia khusus untuk meninjau kembali kepemimpinan di Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Presiden Soekarno menerima mosi tersebut pada 14 Oktober 1952. Keputusan ini menimbulkan ketegangan karena dianggap oleh para petinggi Angkatan Darat sebagai bentuk campur tangan parlemen dalam urusan militer.[1]
Puncak pertikaian antara militer dan pemerintahan sipil terjadi pada 17 Oktober 1952, ketika Nasution bersama tujuh panglima daerah mendesak Presiden Soekarno untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS). Mereka memimpin demonstrasi besar-besaran yang melibatkan ribuan tentara di depan Istana Negara sejak pagi hari.[1]
Situasi di sekitar Istana Merdeka menjadi sangat tegang dengan kehadiran dua tank, empat panser, dan ribuan tentara yang membawa spanduk bertuliskan "bubarkan parlemen." Bahkan, sebagian dari mereka yang berasal dari Batalyon Artileri mengarahkan moncong meriam ke arah istana, tempat Presiden Soekarno berada.[1]
Peristiwa ini diceritakan kembali oleh Soekarno dalam bukunya Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams yang terbit pada 1965. Dalam buku itu, Soekarno menuturkan bahwa sejumlah petinggi militer yang memimpin demonstrasi sempat menemuinya secara langsung di dalam istana. Dalam pertemuan tersebut, Nasution mengatakan bahwa demonstrasi itu tidak ditujukan kepada Soekarno secara pribadi, melainkan kepada sistem pemerintahan dan menuntut agar parlemen segera dibubarkan.[1]
Perdebatan antara Soekarno dan Nasution pun berlangsung panas hingga akhirnya Soekarno memutuskan keluar dan berdiri di hadapan meriam yang diarahkan ke istana. Ia kemudian menyerukan kepada para tentara dan masyarakat sipil untuk membubarkan diri. Usaha kudeta tersebut pun gagal.[1]
Sikap tentara dalam peristiwa ini dinilai sebagai bukti semakin kuatnya ketidakpercayaan militer terhadap pemerintahan sipil dan sistem politik yang dianggap tidak mampu menciptakan stabilitas. Peristiwa ini menjadi tonggak penting dalam sejarah hubungan sipil-militer di Indonesia.
Pemilihan Umum 1955
Setelah peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang diperiksa oleh Jaksa Agung Suprapto pada bulan Desember tahun yang sama. Akibatnya, keduanya kehilangan jabatan di Angkatan Bersenjata dan diberhentikan dari ikatan dinas. Namun, tiga tahun berselang, Pemilihan Umum 1955 akhirnya digelar. Meski menjadi pemilu pertama yang demokratis, sistem multipartai tetap dipertahankan, dan hal ini semakin mengikis kepercayaan kalangan militer terhadap kepemimpinan sipil yang dianggap tidak efisien dan cenderung melemahkan stabilitas nasional.
Kendati demikian, pada 7 November 1955, Abdul Haris Nasution kembali dipercaya menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Setelah kembali memimpin, Nasution segera menyusun pedoman konseptual mengenai peran militer dalam kehidupan berbangsa. Ia membentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Kolonel Mokoginta dan Letnan Kolonel Soarto untuk merumuskan konsep tersebut. Hasil dari perumusan ini kemudian melahirkan gagasan “operasi karya” dan “kekaryaan,” yang menjadi fondasi awal dari Dwifungsi militer.
Konsep tersebut secara resmi disampaikan Nasution dalam pidatonya yang terkenal di Akademi Militer Magelang pada 11 November 1958. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa posisi TNI tidak boleh disamakan dengan militer di negara-negara Barat yang sepenuhnya berada di bawah otoritas sipil, maupun sebagai rezim militer yang mengambil alih kekuasaan negara. Menurut Nasution, TNI merupakan kekuatan sosial yang bersatu dengan kekuatan rakyat lainnya, bahu membahu membangun bangsa. Perumusan inilah yang kemudian dikenal sebagai “jalan tengah TNI” dan menjadi dasar formalisasi Dwifungsi ABRI.
Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu berbicara kepada Presiden Soekarno, bahwa sangat ingin melanjutkan peran ini setelah darurat militer dicabut, dan karena itu mengembangkan konsep "Jalan Tengah" di mana Angkatan Darat diberikan peluang bagi peranan terbatas di dalam pemerintahan sipil.[1]
...memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan, kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi
Dari 25-31 Agustus 1966, Seminar Angkatan Darat Kedua diadakan. Para peserta yang perwira Angkatan Darat senior dan lebih dari 100 peserta dari SESKOAD. Ini revisi dari doktrin Angkatan Darat, yang dipandang mengandung terlalu banyak pengaruh komunis. Doktrin baru ini menetapkan fungsi Angkatan Darat di luar militer, yaitu "untuk berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik dan ekonomi dan bidang sosial budaya".[2]
Seminar tersebut juga menghasilkan sebuah dokumen berjudul "Kontribusi Angkatan Darat dari Ide untuk Kabinet Ampera." Dokumen ini terbagi dalam dua bagian utama yang mencerminkan fokus militer terhadap pemulihan nasional, yakni rencana untuk stabilisasi politik dan rencana untuk stabilisasi ekonomi. Melalui dokumen ini, Angkatan Darat menunjukkan ambisinya tidak hanya sebagai penjaga keamanan, tetapi juga sebagai aktor penting dalam penataan ulang struktur negara.
Rencana stabilisasi politik memuat pandangan militer mengenai tata kelola pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasi, sementara rencana stabilisasi ekonomi berisi langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu. Kedua bagian tersebut menjadi acuan penting bagi Kabinet Ampera dalam menjalankan pemerintahan di bawah naungan kekuasaan baru pasca Soekarno.
Setelah Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 1959 yang mengakhiri sistem parlementer, Nasution menjadi Menteri Pertahanan sekaligus Kepala Staf AD. MPRS mengeluarkan TAP Nomor II Tahun 1960 yang mengarahkan semua golongan untuk masuk dalam Front Nasional, termasuk Angkatan Darat yang menyatakan diri sebagai golongan fungsional.[1]
Setahun kemudian, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden pada 5 Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan berakhirnya sistem demokrasi parlementer, Soekarno memegang dua peran sekaligus sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Di saat yang sama, Nasution diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan, namun tetap menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Peran gandanya memperkuat posisi militer di dalam pemerintahan.[1]
Pada tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Ketetapan Nomor II yang bertujuan menjamin keberhasilan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961–1969. Dalam Pasal 4 Ayat 2 ketetapan tersebut dinyatakan bahwa seluruh rakyat dan perangkat negara harus dilibatkan dalam suatu gerakan massa yang dinamakan Front Nasional. Ketentuan ini semakin memperkokoh posisi Angkatan Darat yang kemudian secara resmi menyatakan diri sebagai “golongan fungsional” dan turut diwakili dalam struktur organisasi Front Nasional, menandai semakin resminya peran sosial-politik militer di Indonesia.[1]
Formalisasi dan Perluasan Peran
Lima tahun setelah dirumuskannya konsep Dwifungsi ABRI, pecah peristiwa 30 September 1965 yang berujung pada tumbangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) serta kejatuhan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan. Dalam masa transisi tersebut, posisi Angkatan Darat semakin menguat dalam struktur pemerintahan. Jenderal A.H. Nasution diangkat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sementara Mayor Jenderal Soeharto—yang sebelumnya menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat—diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itu, hampir tidak ada kekuatan politik yang mampu menyaingi dominasi Angkatan Darat dalam konstelasi kekuasaan nasional.[1]
Memasuki era Orde Baru, Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diterima secara formal dan dilembagakan. Peran ABRI ditetapkan sebagai dinamisator dan stabilisator dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam praktiknya, Dwifungsi memungkinkan personel militer aktif untuk menduduki berbagai jabatan sipil di luar bidang pertahanan dan keamanan. Militer pun mulai merambah ke ranah eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, menjadikan ABRI sebagai aktor politik utama dalam struktur negara Orde Baru.[1]
Pada 1978, Soeharto menunjuk Jenderal Andi Muhammad Yusuf sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI. Yusuf kemudian menghapus pengawalan pribadi pejabat, memperbaiki kesejahteraan prajurit, dan melarang perwira aktif berdagang, upaya yang dianggap ingin mengembalikan kemanunggalan ABRI dan rakyat.[1]
Namun, pada awal 1980-an, desakan agar militer kembali ke barak semakin kuat. Yusuf menarik semua perwira muda dari posisi ajudan sebagai bagian dari strategi pertahanan-keamanan 1979–1983 yang bertujuan modernisasi dan profesionalisasi ABRI. Meski begitu, peran sosial-politik militer justru diperluas.[1]
Konsep pembinaan teritorial diperkuat dengan peningkatan jumlah Koramil dan Kodam, serta penyusunan buku pedoman perwira untuk menjadi pemimpin sosial. Meskipun ada sejumlah langkah reformasi, Dwi Fungsi tetap dipertahankan. Para jenderal menegaskan bahwa Dwi Fungsi akan dijalankan secara selektif, tetapi tidak dihapuskan. Bahkan Aksaman Sudomo menyatakan bahwa "Dwi Fungsi secara konsepsional akan abadi", menegaskan posisi militer yang tetap ingin menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur kekuasaan sipil di Indonesia.[1]
Usaha Pemurnian Identitas Militer
Pada 17 April 1978, Presiden Soeharto menunjuk Jenderal Andi Muhammad Yusuf sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI. Penunjukan ini cukup mengejutkan karena jabatan militer terakhir Yusuf adalah sebagai Panglima Komando Daerah Militer Hasanuddin. Di masa akhir pemerintahan Soekarno hingga awal masa Soeharto, Yusuf justru lebih dikenal karena ditugas-karyakan sebagai Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan.[1]
Ketika kembali memimpin ABRI, Yusuf memulai berbagai langkah yang disebut sebagai upaya memurnikan identitas tentara. Salah satu langkah awalnya adalah menghapus segala bentuk pengawalan pribadi bagi pejabat, baik sipil maupun militer—kecuali Presiden dan Wakil Presiden. Ia juga melakukan sejumlah perbaikan kesejahteraan prajurit, seperti memperbaiki asrama, menyediakan makanan tambahan setiap pagi, serta menambah uang lauk pauk dan jatah pakaian.[1]
Jenderal Yusuf menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan ini bertujuan mengembalikan semangat kemanunggalan ABRI dengan rakyat dan menghidupkan kembali doktrin dasar TNI. Setahun kemudian, pada 1979, ia mengeluarkan instruksi yang melarang perwira ABRI aktif berdagang. Kebijakan ini disambut baik oleh berbagai kalangan, termasuk Jenderal (Purn.) A.H. Nasution yang telah lama menyerukan pemurnian kembali identitas militer. Dalam tulisannya di majalah Tempo tahun 1979, Nasution menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi TNI yang telah banyak meninggalkan prinsip perjuangan rakyat, karena banyak perwira aktif menduduki posisi di luar bidang militer.[1]
Menurut catatan Tempo, pada masa itu terdapat sekitar 13.000 anggota ABRI yang ditugaskan di bidang non-militer. Mereka tersebar di berbagai posisi, termasuk 12 menteri di kabinet, 21 gubernur, 11 sekretaris jenderal, 25 direktur jenderal, dan sejumlah inspektur jenderal. Di DPR, tercatat ada 75 perwira aktif yang duduk di Fraksi ABRI dan 15 purnawirawan di Fraksi Karya Pembangunan. Bahkan di Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, posisi pimpinan juga diisi oleh perwira aktif. Selain itu, 25 anggota ABRI menjadi duta besar, dan banyak perusahaan negara maupun swasta yang dipimpin oleh militer.[1]
Pada awal 1980-an, desakan untuk mengembalikan militer ke barak semakin menguat. Beberapa petinggi bidang pertahanan dan keamanan mulai mendorong pengurangan keterlibatan ABRI di luar ranah militer. Sebagai respons, pada 15 Januari 1980, Jenderal Yusuf menginstruksikan agar seluruh perwira pertama dan menengah berpangkat Letnan, Kapten, dan Mayor yang selama ini menjadi ajudan perwira tinggi, ditarik kembali ke kesatuan masing-masing. Langkah-langkah tersebut didasarkan pada Rencana Strategis II Pertahanan Keamanan periode 1979–1983, yang bertujuan meningkatkan profesionalisme dan modernisasi ABRI.[1]
Namun, meski berbagai kebijakan tersebut tampak sebagai upaya memperbaiki citra militer, kenyataannya di bawah kepemimpinan Jenderal Yusuf, peran ABRI di bidang sosial dan kemasyarakatan justru semakin meluas. Dengan mengusung kembali semboyan “manunggal ABRI dengan rakyat,” Jenderal Yusuf menerapkan konsep pembinaan teritorial yang memperpanjang masa tugas aparat teritorial meskipun telah mencapai usia pensiun. Ia juga menambah jumlah markas Komando Rayon Militer (Koramil) dari 3.104 menjadi 3.609, serta meningkatkan jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) dari 251 menjadi 273. Markas Besar Angkatan Darat turut menyusun buku pedoman bagi perwira teritorial agar dapat menjadi pemimpin sosial di tengah masyarakat.[1]
Pada akhirnya, meski ada sejumlah langkah reformis, Dwifungsi ABRI tetap dipertahankan. Para petinggi ABRI saat itu justru menegaskan bahwa Dwifungsi tidak akan dikurangi, tetapi akan dijalankan secara lebih selektif dan kualitatif. Penugasan anggota ABRI untuk tugas kekaryaan harus berdasarkan permintaan resmi dari pemerintah pusat maupun daerah. Wakil Panglima ABRI dan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, Laksamana Sudomo, menegaskan bahwa tidak benar jika ABRI akan kembali ke barak sepenuhnya. Menurutnya, secara konseptual, Dwifungsi ABRI adalah sesuatu yang bersifat abadi.[1]
Faksi ABRI
Faksi ABRI, yang mewakili militer dalam DPR, didirikan pada tanggal 25 Juni 1960. Tanggal ini menandai pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), yang termasuk perwakilan militer. DPRGR menggantikan DPR yang terpilih dalam Pemilihan Umum 1955 melalui Dekrit Presiden Soekarno tahun 1959. Oleh karena itu, tanggal 25 Juni 1960, diakui sebagai tanggal pendirian Faksi ABRI dalam DPR.[3]
Jumlah total anggota DPR dan perwakilan ABRI telah berfluktuasi seiring berjalannya waktu. Selama era Demokrasi Terpimpin, terdapat 35 perwakilan militer dari total 283 anggota DPRGR. Pada tahun 1967, setelah percobaan kudeta G30S yang gagal, jumlah tersebut naik menjadi 43. Setahun kemudian, 32 perwakilan ABRI lebih masuk ke DPR, sehingga terdapat 75 perwakilan ABRI dari total 414 anggota DPR. Pada tahun 1971, setelah pemilihan umum yang berlangsung pada tahun yang sama, DPR meningkat menjadi 450 sementara Faksi ABRI tetap sama, 75 perwakilan. Setelah Pemilu Umum 1977 juga, masih ada hanya 75 perwakilan Fraksi ABRI di DPR. Barulah pada tahun 1985 jumlah itu bertambah dengan 25 kursi baru untuk Fraksi ABRI, dengan DPR juga meningkat, sehingga terdapat 100 perwakilan ABRI dari total 500 anggota DPR.[3] Faksi ABRI tetap memiliki seratus perwakilan selama sisa periode Orde Baru.
Akhir
Dwifungsi ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan menyusul runtuhnya rezim Soeharto. Masa ini menandai dimulainya era reformasi di mana tuntutan gerakan demokratis dan sipil semakin kuat untuk membatasi keterlibatan militer dalam politik.[4]
Pasca-Reformasi, pengaruh militer dalam politik sangat melemah dan Faksi ABRI, yang pada saat itu telah mengubah namanya menjadi Faksi TNI-POLRI, juga kehilangan perwakilan di DPR.[3] Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000 di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu 2009. Sebagai hasil dari dorongan reformasi ini, Dwifungsi ABRI resmi dihapuskan melalui Tap MPR pada tahun 2000 dan militer dipisahkan dari kepolisian.[4]
Sejak saat itu, ketiga angkatan bersenjata — Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara — dikembalikan ke fungsi utamanya dan dinamai ulang sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan tugas pokok di bidang pertahanan negara. Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi institusi yang berdiri sendiri di bawah Presiden, dengan fungsi utama sebagai penegak hukum serta penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat di Indonesia.
Pasca-reformasi
Unjuk Rasa Indonesia Gelap 2025
Kekhawatiran mengenai kemunculan kembali Dwifungsi muncul pada Maret 2025 saat Komisi I DPR RI melakukan perubahan terhadap Undang-Undang TNI melalui Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Revisi ini mencakup tiga poin utama, yaitu Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 53 tentang batas usia pensiun, dan Pasal 47 yang mengatur prajurit aktif yang dapat menduduki jabatan sipil.[5] Revisi ini dinilai membuka kembali peluang masuknya militer ke berbagai sektor sipil dan memperbesar potensi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[6]
Sebelum revisi disahkan, prajurit aktif TNI hanya diperbolehkan mengisi posisi di Kementerian Pertahanan. Namun dalam versi baru undang-undang, dinyatakan bahwa prajurit dapat ditempatkan di berbagai lembaga negara lainnya, termasuk Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa lembaga penegak hukum juga akan diisi oleh militer aktif, yang berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dan memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia.[6]
Ketentuan sebelumnya dalam hukum militer mengharuskan prajurit untuk pensiun sebelum dapat bekerja di BUMN, sebagai bagian dari transisi demokrasi pasca-Orde Baru. Namun, perubahan dalam undang-undang yang baru dinilai membuka jalan bagi militer aktif untuk lebih leluasa mengisi jabatan-jabatan strategis di luar pertahanan, tanpa batasan yang ketat.[6]
Sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan di bawah pemerintahan Joko Widodo, Prabowo Subianto dianggap telah mengembalikan peran militer dalam banyak aspek kehidupan sipil. Ia dikenal melibatkan TNI dalam program seperti makan bergizi gratis, food estate, dan sektor-sektor lain yang sebelumnya menjadi domain sipil. Beberapa menteri di kabinet juga berasal dari latar belakang militer, yang semakin memperkuat persepsi bahwa arah pemerintahan cenderung menghidupkan kembali praktik-praktik ala Orde Baru.[6]
Prabowo, sebagai presiden terpilih 2024 dan mantan menantu Soeharto, dikritik karena dinilai membawa kembali gaya kepemimpinan otoriter. Ia memiliki latar belakang militer dan berkarier pada masa dominasi Dwifungsi ABRI. Reformasi yang bertujuan membatasi peran politik militer kini dianggap terancam oleh langkah-langkah legislatif seperti revisi UU TNI ini.[6]
Lebih lanjut, proses perumusan undang-undang ini juga menjadi sorotan. Masyarakat sipil tidak dilibatkan secara transparan. Pembahasan dilakukan bukan di gedung parlemen, melainkan di hotel secara tertutup, yang memperkuat dugaan adanya niat untuk menghindari pengawasan publik. Hal ini mempertegas kekhawatiran bahwa revisi undang-undang hanya menjadi alat untuk melegalkan kembalinya praktik militerisme dan mengaburkan semangat reformasi yang diperjuangkan sejak 1998.[6]
Koalisi Masyarakat Sipil menolak revisi UU TNI karena dianggap berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan mengancam kualitas demokrasi. Mereka juga mengkritik proses pembahasan yang dinilai terburu-buru dan kurang melibatkan partisipasi publik.[5]
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra, menyampaikan kekhawatirannya bahwa RUU ini bisa membuka jalan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar ketentuan yang ada. Menurutnya, hal ini bisa menghambat fungsi utama TNI dan bertentangan dengan prinsip reformasi militer.[5]
Meskipun mendapat penolakan dari kelompok sipil, berbagai fraksi di DPR RI tetap melanjutkan pembahasan RUU TNI. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, membantah tudingan bahwa pembahasan dilakukan secara tertutup dan terburu-buru. Ia menegaskan bahwa rapat yang digelar di Hotel Fairmont berlangsung secara terbuka dan sudah berlangsung selama beberapa bulan.[5][7]
PDI-P yang sebelumnya menolak revisi ini kini justru mendukungnya. Utut Adianto, kader PDI-P, bahkan menjabat sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TNI di DPR. Puan Maharani menyatakan bahwa partainya berperan dalam meluruskan aturan agar sesuai dengan prinsip demokrasi.[5][8]
Selain PDI-P dan Gerindra, Fraksi Demokrat juga mendukung revisi ini, dengan penekanan pada pemisahan antara militer dan politik. Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Demokrat, Anton Sukartono Suratto, menegaskan bahwa prajurit TNI aktif yang ingin bertugas di instansi sipil harus mengundurkan diri atau pensiun dini, sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).[5]
Pemerintah dan DPR RI kompak membantah anggapan bahwa revisi UU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menyatakan bahwa revisi ini justru membatasi jabatan sipil yang bisa ditempati prajurit aktif, bukan sebaliknya.[5]
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan, juga menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir karena revisi UU TNI tidak bertujuan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru. Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menambahkan bahwa tidak ada pasal atau ayat dalam RUU TNI yang memungkinkan kembalinya dwifungsi ABRI.[5]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad Tempodotco (2025-03-23), Dwifungsi Tentara dari Era Soekarno Hingga Soeharto | PUTAR BALIK, diakses tanggal 2025-04-02
- ^ Crouch, Harold (1977-09). "The National Struggle and the Armed Forces in Indonesia. By Brig. Gen. Nugroho Notosusanto, Department of Defence & Security, Centre for Armed Forces History, 1975. Pp. 165". Journal of Southeast Asian Studies. 8 (2): 255–257. doi:10.1017/s0022463400009486. ISSN 0022-4634.
- ^ a b c "Fraksi ABRI Riwayatnya Dulu". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2023-06-28. Diakses tanggal 2023-09-30.
- ^ a b KOMPASTV (2021-05-18), Melihat Awal Mula Pemisahan TNI-Polri, Akhir Cerita Dwifungsi ABRI, diakses tanggal 2025-04-02
- ^ a b c d e f g h Carina, Jessi (2025-03-18). "Pro Kontra RUU TNI yang Disebut Kembalikan Dwifungsi ABRI, Siapa Dukung? Siapa Tolak?". Kompas.com. Diakses tanggal 2025-03-19.
- ^ a b c d e f South China Morning Post (2025-04-03), Is Indonesia marching back towards military rule?, diakses tanggal 2025-04-04
- ^ "DPR Pastikan Revisi UU TNI Tidak Menghidupkan Kembali Dwifungsi TNI". pantau.com. 2025-03-17. Diakses tanggal 2025-03-19.
- ^ "Puan Tepis RUU TNI akan Hidupkan Kembali Dwifungsi ABRI". pantau.com. 2025-03-18. Diakses tanggal 2025-03-19.
Lihat pula
Konten ini disalin dari wikipedia, mohon digunakan dengan bijak.