Pada 2014, Bahá'í diakui sebagai agama di Indonesia, walau tak diresmikan oleh pemerintah sebagaimana enam agama lainnya yang sudah berstatus resmi.[1][2][3][a] Menurut Perhimpunan Arsip Data Agama pada 2015, jumlah akurat untuk pengikut Baha'i di Indonesia tak tersedia.[5] Bahá'í di Indonesia menjadi subyek dari perlakuan diskriminasi pemerintah.[6]
Sejarah
Keberadaan Bahá'í di Indonesia bermula dari akhir abad ke-19, saat dua pengikut Bahá'í berkunjung ke Hindia Belanda dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya.[7] Kepulauan Mentawai menjadi salah satu wilayah pertama di luar Timur Tengah dan dunia Barat dimana jumlah signifikan konversi ke agama tersebut terjadi, bermula pada 1957.[8] Pada 2014, Komunitas Internasional Bahá'í mendirikan kantor regional di Jakarta.[7]
Status hukum dan diskriminasi
Kegiatan Agama Baháʼí dilarang di Indonesia pada tahun 1962 berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 264 Tahun 1962 oleh Presiden Sukarno.[8][9] Keppres tersebut kemudian dicabut pada tahun 2000 dengan Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid.[10][11][12]
Namun demikian, komunitas Baháʼí Indonesia terus menghadapi diskriminasi. Penerimaan sosial tampaknya lebih besar pada masa penjajahan Belanda daripada pada masa Orde Baru dan masa Reformasi berikutnya.[4] Pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Baháʼí dilarang dimakamkan di tempat umum.[4] Sebuah makalah penelitian tahun 2011 melaporkan berbagai bentuk diskriminasi terhadap komunitas kecil Baháʼí di dusun Cangaan, Banyuwangi, Jawa Timur.[13] Lebih lanjut, USCIRF menyatakan dalam laporan 2016:[6]
Masyarakat Baha'i Indonesia masih mengalami diskriminasi pemerintah karena keyakinan mereka. Terlepas dari pernyataan Menteri Agama Lukman tahun 2014 bahwa agama Baha'i harus diakui sebagai agama yang dilindungi oleh konstitusi, pemerintah tidak mengubah kebijakan resmi. Pengikut Baha'i tidak dapat memperoleh pengakuan negara atas perkawinan sipil, memiliki kesempatan pendidikan yang terbatas, dan harus menyatakan keyakinan selain mereka sendiri di KTP mereka. Baru belakangan ini beberapa Baha'i diizinkan mengosongkan kolom agama di KTP mereka. Meskipun beberapa sekolah sekarang mengizinkan Baha'i untuk memberikan pendidikan agama mereka sendiri, pengajaran Baha'i bukan bagian dari kurikulum resmi tentang agama yang ditetapkan oleh dewan standar nasional, dan beberapa siswa Baha'i malah dipaksa untuk belajar Protestan atau Katolik.
Statistik
Agama ini memiliki sekitar 22.800 penganut di Indonesia pada 2010, menurut perkiraan Association of Religion Data Archives (ARDA) berdasarkan data dari World Christian Encyclopedia.[14] Dalam profil negara pada tahun 2015, ARDA mencatat bahwa meskipun komunitas Baháʼí Indonesia mengklaim memiliki ribuan anggota, tidak ada angka yang dapat diandalkan.[5]
Catatan
- ^ Amanah Nurish dari The Jakarta Post menyebut bahwa Bahá'í sudah diakui oleh pemerintah sehingga jumlah agama resmi di Indonesia adalah tujuh.[4]
Referensi
- ^ Hafil, Muhammad (red.) (8 Agustus 2014). "Setelah Diakui Agama, Baha'i Ucapkan Terima Kasih ke Menteri Agama". Republika. Diakses tanggal 15 Februari 2019. templatestyles stripmarker di
|first=
pada posisi 10 (bantuan) - ^ Fardianto, Fariz (27 Juli 2014). Moerti, Wisnoe, ed. "Menteri Agama: Baha'i belum jadi agama baru, masih kepercayaan". Merdeka.com. Diakses tanggal 15 Februari 2019.
- ^ Triono, Sugeng (13 Agustus 2014). Hatta, Raden Trimutia, ed. "Mendagri: Agama Baha'i Dibolehkan, Tapi Tak Tercantum di KTP". Liputan6.com. Diakses tanggal 15 Februari 2019.
- ^ a b c Nurish, Amanah (8 August 2014). "Welcoming Baha'i: New official religion in Indonesia". Jakarta Post. Diakses tanggal 12 February 2019.
- ^ a b "Indonesia". Association of Religion Data Archives. Diakses tanggal 12 February 2019.
- ^ a b "USCIRF Annual Report 2016 - Tier 2 countries - Indonesia". Refworld. United States Commission on International Religious Freedom. 2 May 2016. Diakses tanggal 12 February 2019.
- ^ a b "Exploring religion's contribution to peace in Southeast Asia". Bahá'í World News Service. 17 November 2016. Diakses tanggal 13 February 2019.
- ^ a b Smith, Peter; Momen, Moojan (1989). "The Baha'i faith 1957–1988: A survey of contemporary developments". Religion. 19 (1): 63–91. doi:10.1016/0048-721X(89)90077-8. Diakses tanggal 12 February 2019.
- ^ https://books.google.co.id/books?id=ApjZDQAAQBAJ&pg=PA149&dq=Presidential+Decree+No.+264/1962&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiu4s-Or4XyAhXm4nMBHcHTAtMQ6AEwAXoECAcQAw#v=onepage&q=Presidential%20Decree%20No.%20264%2F1962&f=false
- ^ "Indonesian government recognizes Baha'i faith as a religion". Ecumenical News. 12 August 2014. Diakses tanggal 13 February 2019.
- ^ Lesley, Alison (4 August 2014). "Indonesia to Officially Recognize Baha'i in Increasing Tolerance". World Religion News. Diakses tanggal 12 February 2019.
- ^ https://books.google.co.id/books?id=WAcmhI47pScC&pg=PA875&dq=presidential+Decree+No.+69+2000+Baha%27i&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjYid-KsYXyAhWmqksFHf8jCGoQ6AEwBHoECAYQAw#v=onepage&q=presidential%20Decree%20No.%2069%202000%20Baha'i&f=false
- ^ Nurish, Amanah (16 June 2011). "Baha'i: a Narrative of Minority Religion in Indonesia". Center for Religious and Cross-cultural Studies: Graduate School, Universitas Gadjah Mada. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-13. Diakses tanggal 13 February 2019.
- ^ "Most Baha'i [sic] Nations (2010)". Association for Religion Data Archives. Diakses tanggal 12 February 2019.
Pranala luar
Konten ini disalin dari wikipedia, mohon digunakan dengan bijak.