Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara terbesar yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Fauna Indonesia memiliki keanekaragaman yang tinggi karena wilayahnya yang luas dan berbentuk kepulauan tropis.[1] Keanekaragaman yang tinggi ini disebabkan oleh Garis Wallace, membagi Indonesia menjadi dua area; zona zoogeografi Asia, yang dipengaruhi oleh fauna Asia, dan zona zoogeografi Australasia, dipengaruhi oleh fauna Australia.[2] Pencampuran fauna di Indonesia juga dipengaruhi oleh ekosistem yang beragam di antaranya: pantai, bukit pasir, muara, hutan bakau, dan terumbu karang.
Masalah ekologi yang muncul di Indonesia adalah proses industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tinggi, yang menyebabkan prioritas pemeliharaan lingkungan menjadi terpinggirkan.[3] Keadaan ini menjadi semakin buruk akibat aktivitas pembalakan liar, yang menyebabkan berkurangnya area hutan; sedangkan masalah lain, termasuk tingginya urbanisasi, polusi udara, manajemen sampah dan sistem pengolahan limbah juga berperan dalam perusakan hutan.
Asal fauna Indonesia
Asal mula fauna Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek geografi dan peristiwa geologi di benua Asia dan Australia.[4] Pada zaman purba, pulau Irian (New Guinea) tergabung dengan benua australia.
Hughasiusilum
Nama dari benua Australia 12.000.000 tahun yang lalu untuk sebagai landasan benua Australia yang akan dibentuk dari batuan yang umurnya muda yaitu kurang dari 2 juta tahun.
Benua Australia membentuk superbenua yang dinamakan superbenua selatan Gondwana. Superbenua ini mulai terpecah 140 juta tahun yang lalu, dan daerah New Guinea (yang dikenal sebagai Sahul) bergerak menuju khatulistiwa. Akibatnya, hewan di New Guinea berpindah ke benua Australia dan demikian pula sebaliknya, menimbulkan berbagai macam spesies yang hidup di berbagai area hidup dalam ekosistem. Aktivitas ini terus berlanjut sampai dua daerah ini benar-benar terpisah.
Di lain pihak, pengaruh benua Asia merupakan akibat dari reformasi superbenua Laurasia, yang timbul setelah pecahnya Rodinia sekitar 1 miliar tahun yang lalu. Sekitar 200 juta tahun yang lalu, superbenua Laurasia benar-benar terpisah, membentuk Laurentia (sekarang Amerika) dan Eurasia. Pada saat itu, sebagian wilayah Indonesia masih belum terpisah dari superbenua Eurasia. Akibatnya, hewan-hewan dari Eurasia dapat saling berpindah dalam wilayah kepulauan Indonesia, dan dalam ekosistem yang berbeda, terbentuklah spesies-spesies baru.
Pada abad ke-19, Alfred Russel Wallace mengusulkan ide tentang Garis Wallace, yang merupakan suatu garis imajiner yang membagi kepulauan Indonesia ke dalam dua daerah, daerah zoogeografis Asia dan daerah zoogeografis Australasia (Wallacea).[5] Garis tersebut ditarik melalui kepulauan Melayu, di antara Kalimantan (Borneo) dan Sulawesi (Celebes); dan di antara Bali dan Lombok.[6] Walaupun jarak antara Bali dan Lombok relatif pendek, sekitar 35 kilometer, distribusi fauna di sini sangat dipengaruhi oleh garis ini. Sebagai contoh, sekelompok burung tidak akan mau menyeberang laut terbuka walaupun jaraknya pendek.[6]
Paparan Sunda
Hewan-hewan di daerah paparan Sunda, yang meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil yang mengelilinginya, memiliki karakteristik yang menyerupai fauna di Asia. Selama zaman es, setelah Laurasia terpecah, daratan benua Asia terhubung dengan kepulauan Indonesia. Selain itu, kedalaman laut yang relatif dangkal memungkinkan hewan-hewan untuk bermigrasi ke paparan Sunda. Spesies-spesies besar seperti harimau, badak, orangutan, gajah, dan macan tutul ada di daerah ini, walaupun sebagian hewan ini sekarang dikategorikan terancam punah. Selat Makassar, laut antara Kalimantan dan Sulawesi, serta selat Lombok, antara Bali dan Lombok, yang menjadi pemisah dari Garis Wallace, menandakan akhir dari daerah paparan Sunda.
Mamalia
Paparan Sunda memiliki spesies berjumlah total 515. Dari jumlah itu, 173 di antaranya merupakan spesies endemik daerah ini.[7] Sebagian besar dari spesies-spesies ini terancam keberadaannya dan hampir punah. Dua spesies orangutan, Pongo pygmaeus (orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (orangutan Sumatra) termasuk dalam daftar merah IUCN. Mamalia terkenal lain, seperti bekantan (Nasalis larvatus), badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), dan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) juga sangat terancam jumlah populasinya.
Burung
Menurut Konservasi International, sebanyak 771 spesies unggas terdapat di paparan Sunda. Sebanyak 146 spesies merupakan endemik daerah ini. Pulau Jawa dan Bali memiliki paling sedikit 20 spesies endemik, termasuk Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan Cerek Jawa (Charadrius javanicus).
Berdasarkan data dari Burung Indonesia Diarsipkan 2006-12-06 di Wayback Machine., jumlah jenis burung di Indonesia sebanyak 1598 jenis . Dengan ini membawa Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki jumlah jenis burung terbanyak se-Asia. Sejak tahun 2007, Burung Indonesia secara berkala memantau status keterancaman dari burung-burung terancam punah yang berada di Indonesia berdasarkan data dari BirdLife International Diarsipkan 2013-09-25 di Wayback Machine.. Tahun 2007-2009 terjadi penurunan status keterancaman burung secara berturut-turut mulai dari 119 jenis (2007), 118 jenis (2008), dan 117 jenis (2009).
Reptil dan Amfibia
Sebanyak 449 spesies dari 125 genus reptil diperkirakan hidup di paparan Sunda. Sebanyak 249 spesies dan 24 genus di antaranya adalah endemik. Tiga famili reptil juga merupakan endemik di wilayah ini: Anomochilidae, Xenophidiidae and Lanthanotidae. Famili Lanthanotidae diwakili oleh earless monitor (Lanthanotus borneensis), kadal coklat Kalimantan yang sangat langka dan jarang ditemui. Sekitar 242 spesies amfibia dalam 41 genus hidup di daerah ini. Sebanyak 172 spesies, termasuk Caecilian dan enam genus adalah endemik.
Ikan
Sebanyak hampir 200 spesies baru ditemukan di daerah ini dalam sepuluh tahun terakhir. Sekitar 1000 spesies ikan diketahui hidup di dalam sungai, danau, dan rawa-rawa di paparan Sunda. Kalimantan mempunyai sekitar 430 spesies, dan sekitar 164 di antaranya diduga endemik. Sumatra memiliki 270 spesies, sebanyak 42 di antaranya endemik.[8] Ikan arwana emas (Scleropages formosus) yang cukup terkenal merupakan contoh ikan di daerah ini.
Wallacea
Wallacea merupakan daerah transisi biogeografis antara paparan Sunda ke arah barat, dan daerah Australasian ke arah timur. Daerah ini meliputi sekitar 338.494 km² area daratan, terbagi ke dalam banyak pulau kecil. Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan sebagian Nusa Tenggara merupakan bagian dari daerah ini. Karena faktor geografinya, daerah ini terdiri dari banyak jenis hewan endemik dan spesies fauna yang unik.
Mamalia
Wallacea mempunyai sejumlah 223 spesies asli mamalia. Sebanyak 126 di antaranya merupakan endemik daerah ini. Sebanyak 124 spesies kelelawar bisa ditemukan di daerah ini. Sulawesi, sebagai pulau terbesar di daerah ini memiliki jumlah mamalia yang paling banyak. Sejumlah 136 spesies, 82 spesies dan seperempat genus di antaranya adalah endemik. Spesies yang luar biasa, seperti anoa (Bubalus depressicornis) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa) hidup di pulau ini. Sedikitnya tujuh spesies kera (Macaca spp.) dan lima spesies tarsius (Tarsius spp.) juga merupakan hewan khas daerah ini.
Burung
Lebih dari 700 jenis burung bisa ditemui di Wallacea, dan lebih dari setengahnya adalah endemik kawasan ini. Di antara 258 genus yang ada, ada 11%-nya adalah endemik kawasan Wallacea. Sejumlah 16 genus hanya dapat dijumpai di subkawasan Sulawesi. Subkawasan Sulawesi terdiri dari pulau utama Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, termasuk Kepulauan Talaud dan Sangihe di utara, Pulau Madu di Laut Flores di sebelah selatan, termasuk juga Kep. Togian, Kep. Banggai, Kep. Tukangbesi, dan Kep. Sula yang menjembatani kekayaan keragaman burung antara subkawasan Sulawesi dan Maluku. Banyaknya jumlah jenis endemik di subkawasan ini tidak hanya berasal dari pulau utama Sulawesi tetapi juga tersebar di banyak pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Serindit sangihe(Loriculus catamene[9]), Seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi[10]), Gagak banggai (Corvus unicolor[11]), Punggok Togian (Ninox burhani), Gosong sula (Megapodius bernsteinii), Kepudang-sungu sula (Coracina sula), dan Raja-perling sula (Basilornis galeatus). Sedangkan jenis-jenis endemik pulau Sulawesi meliputi Anis sulawesi (Cataponera turdoides), Sikatan matinan (Cyornis sanfordi), Julang sulawesi (Aceros cassidix) dan Kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus). Banyak jenis yang hanya terdapat di subkawasan ini adalah jenis-jenis terancam punah secara global.
Reptil dan Amfibia
Dengan 222 spesies, 99 di antaranya endemik, Wallacea memiliki jenis reptil yang sangat beragam. Di antaranya adalah 118 spesies kadal yang 60 di antaranya adalah endemik; 98 spesies ular, 37 spesies di antaranya adalah endemik; lima spesies kura-kura, dua spesiesnya merupakan endemik; dan satu spesies buaya, buaya Indo-Pasifik (Crocodylus porosus). Tiga genus endemik ular yang hanya dapat ditemukan di wilayah ini: Calamorhabdium, Rabdion, dan Cyclotyphlops. Salah satu reptil yang mungkin paling terkenal di Wallacea adalah komodo (Varanus komodoensis), yang diketahui keberadaannya hanya di Pulau Komodo, Padar, Rinca, dan tepi barat Flores.
Sebanyak 58 spesies amfibia khas dapat ditemukan di Wallacea. Sebanyak 32 spesies di antaranya adalah endemik. Ini menggambarkan kombinasi elemen katak daerah Indo-Melayu dan Australasia yang mempesona.
Ikan
Ada sekitar 310 spesies ikan tercatat dari sungai-sungai dan danau-danau Wallacea. Sebanyak 75 spesies di antaranya adalah endemik. Walaupun masih sedikit yang dapat diketahui mengenai ikan ikan dari Kepulauan Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil, 6 spesies diketahui sebagai endemik. Di pulau Sulawesi, ada 69 spesies yang diketahui, 53 di antaranya adalah endemik. Danau Malili di Sulawesi Selatan, dengan kedalamannya yang kompleks dan arusnya yang deras memiliki paling sedikit 15 jenis ikan telmatherinid endemik, dua di antaranya mewakili genus endemik, tiga endemik Oryzia, dua endemik halfbeaks, dan tujuh endemik gobie.
Invertebrata
Sekitar 50 moluska endemik, tiga spesies kepiting endemik, dan sejumlah spesies udang endemik juga diketahui berasal dari Wallacea.
Konservasi
Walaupun 45% daerah Indonesia masih belum berpenghuni dan ditutupi hutan tropis, pertumbuhan populasi Indonesia yang tinggi dengan industrialisasinya, secara perlahan memengaruhi keberadaan fauna di Indonesia. Ditambah lagi, perdagangan hewan ilegal semakin menambah parah kondisi fauna Indonesia, termasuk di antaranya badak, orangutan, harimau, dan beberapa spesies amfibia.[5] Hingga 95% hewan yang dijual di pasar diambil langsung dari hutan dan bukannya melalui konservasi; dan lebih dari 20% hewan ini meninggal dalam perjalanan.[12] Pada tahun 2003, World Conservation Union mencatat 147 spesies mamalia, 114 burung, 91 ikan dan 2 invertebrata termasuk dalam hewan-hewan yang terancam punah.[12]
Lihat pula
Referensi
- ^ "Indonesia's Natural Wealth: The Right of a Nation and Her People". Islam Online. 2003-05-22. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-10-17.
- ^ Severin, Tim (1997). The Spice Island Voyage: In Search of Wallace. Great Britain: Abacus Travel. ISBN 0-349-11040-9.
- ^ Jason R. Miller (1997-01-30). "Deforestation in Indonesia and the Orangutan Population". TED Case Studies.
- ^ "Indonesia - Flora and Fauna". Encyclopedia of the Nations. Encyclopedia of the Nations. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-05.
- ^ a b "Indonesia". Conservation International. Conservation International. 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-28.
- ^ a b Zubi, Teresa (2006-08-25). "The Wallacea Line". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-25.
- ^ Whitten, Tony (2004). [www.biodiversityscience.org/publications/hotspots/Sundaland.html "Sundaland"] Periksa nilai
|url=
(bantuan). Diakses tanggal 2007-05-26. - ^ Kottelat, M. (1996). Freshwater biodiversity in Asia, with special reference to fish. The World Bank Technical Paper No. 343. Washington, D.C.: The World Bank.
- ^ Loriculus catamene[pranala nonaktif permanen] dari Burung.org, diakses 18 Mei 2010
- ^ Eutrichomyias rowleyi[pranala nonaktif permanen] dari Burung.org, diakses 18 Mei 2010
- ^ Corvus unicolor[pranala nonaktif permanen] dari Burung.org, diakses 18 Mei 2010
- ^ a b "Facts about Indonesian animals". ProFauna Indonesia. April 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-11-02.
Pranala luar
- Seacology Indonesia Projects Seacology
- Assem J. van den, J. Bonne-Webster, (1964), New Guinea Culicidae, A synopsis of vectors, pests and common species, Zoologische Bijdragen, Vol. 6 P. 1-136 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Bruijning C.F.A. (1947), An account of the Blattidae (Orthoptera) from Celebes, the Moluccas, and new Guinea, Zoologische Mededelingen, Vol. 27 P. 205-252 PDF Diarsipkan 2020-04-07 di Wayback Machine.
- Chrysanthus Fr. (1971), Further notes on the spiders of New Guinea I (Argyopidae), Zoologische Verhandelingen, Vol. 113 P. 1-113 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Chrysanthus Fr. (1975), Further notes on the Spiders of new Guinea II (Araneae, Tetragnathidae, Theridiidae), Zoologische Verhandelingen, Vol. 140 P. 1-50 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Diakonoff A. (1983) Tortricidae From Atjeh, Northern Sumatra (Lepidoptera), Zoologische Verhandelingen, Vol. 204 p. 1–129 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Humes A.G. (1990) Synopsis of lichomolgid copepods (Poecilostomatoida) associated with soft corals (Alcyonacea) in the tropical Indo-Pacific, Zoologische Verhandelingen, Vol. 266 p. 1–201 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Massin C. (1999) Reef-dwelling Holothuroidea (Echinodermata) of the Spermonde Archipelago (South-West Sulawesi, Indonesia), Zoologische Verhandelingen Vol. 329 p. 1–144 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Renema W. (2003) Larger foraminifera on reefs around Bali (Indonesia), Zoologische Verhandelingen, Vol. 345 p. 337–366 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Renema W., B.W. Hoeksema, J.E. van Hinte (2001) Larger benthic foraminifera and their distribution patterns on the Spermonde shelf, South Sulawesi, Zoologische Verhandelingen, Vol. 334 p. 115–149 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Ris F. (1927) Odonaten von Sumatra, gesammelt von Edward Jacobson, Zoologische Mededelingen, Vol. 10 p. 1–49 PDF Diarsipkan 2020-04-07 di Wayback Machine.
- Tol J. van (1987) The Odonata of Sulawesi and Adjacent Islands. Parts 1 and 2, Zoologische Mededelingen, Vol. 61 p. 155–176 PDF Diarsipkan 2020-04-07 di Wayback Machine.
- Troelstra S.R., H.M. Jonkers, S. de Rijk (1996) Larger Foraminifera from the Spermonde Archipelago (Sulawesi, Indonesia) Scripta Geologica, Vol. 113 p. 93–120 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
- Vervoort W. (1995), Bibliography of Leptolida (non-Siphonophoran Hydrozoa, Cnidaria). Works published after 1910', Zoologische Verhandelingen, Vol. 301 P. 1-432 PDF Diarsipkan 2016-03-03 di Wayback Machine.
Konten ini disalin dari wikipedia, mohon digunakan dengan bijak.